Bismillaah… wash sholaatu wassalaamu alaa Rosulillaah… wa alaa aalihii washohbihii wa man waalaah…
Berikut ini ringkasan kitab Adab Zifaf (Etika Pernikahan), Karya Syeikh Albani rohimahulloh… Semoga bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang bersiap akan melangsungkan pernikahan dan mengakhiri masa lajangnya…
1. Hendaklah dua sejoli yang akan merajut tali suci nikah, meniatkannya  untuk membersihkan jiwanya dan menjaga dirinya dari apa yang diharamkan  Alloh, karena dengan begitu pergaulan keduanya dicatat sebagai sedekah,  sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam- “Pada kemaluan salah seorang diantara kalian ada sedekah”. Para sahabat bertanya:“Wahai Rosululloh, apa dengan memuaskan syahwat, orang bisa menuai pahala?!”. Beliau menjawab: “Bukankah  ia akan berdosa jika menaruhnya pada hal yang harom?! Begitu pula  sebaliknya, ia akan mendapat pahala jika menaruhnya pada hal yang  halal” (HR. Muslim: 1006).
2. Saat pertama kali bertemu atau hendak berhubungan, hendaknya  suami meletakkan tangannya pada permulaan kepala istrinya, seraya  membaca basmalah, doa untuk keberkahannya (misalnya dengan mengucapkan: “اللَّهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْها، وَبَارِكْ لَهَا فِيَّ” = ya Alloh berkahilah dia untukku, dan berkahilah aku untuknya), dan doa berikut ini:
اللَّهُمَّ  إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوذُ  بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
Dengan  menyebut nama Alloh… Ya Alloh sungguh aku mohon padamu kebaikan wanita  ini, dan kebaikan tabiatnya. Dan aku memohon perlindungan-Mu dari  keburukannya dan keburukan tabiatnya.
Sebagaimana sabda Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-:  “Jika kalian telah menikahi wanita atau membeli budak, maka peganglah  bagian depan kepalanya, ucapkanlah basmalah, berdoalah untuk  keberkahannya, dan hendaklah ia mengucapkan… (yakni doa di atas)”. (HR.  Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya, sanadnya hasan)
3. Sholat sunat dua rekaat bersamanya, ketika hendak melakukan hubungan pertamanya, kemudian berdoa:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْ أَهْلِيْ، وَبَارِكْ ِلأَهْلِيْ فِيَّ، اللَّهُمَّ ارْزُقْهُمْ مِنِّيْ، وَارْزُقْنِيْ مِنْهُمْ
اللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ فِيْ خَيْرٍ، وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ فِيْ خَيْرٍ
Ya  Alloh, berilah aku berkah dari istriku, (begitu pula sebaliknya)  berilah istriku berkah dariku. Ya Alloh, berilah mereka rizki dariku,  (begitu pula sebaliknya) berilah aku rizki dari mereka. Ya Alloh,  kumpulkanlah kami jika itu baik bagi kami, dan pisahkanlah kami jika itu  baik bagi kami.
Hal ini disunnahkan karena para salaf dulu melakukannya, diantara mereka adalah: Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, Hudzaifah.
Syaqiq  bin Salamah mengatakan: Suatu hari datang lelaki, namanya: Abu Huraiz,  ia mengatakan: “Aku telah menikahi wanita muda dan perawan, tapi aku  khawatir ia akan membuatku cekcok”, maka Abdulloh bin Mas’ud mengatakan:  “Sesungguhnya kerukunan itu dari Alloh, sedang percekcokan itu dari  setan, ia ingin membuatmu benci dengan apa yang Alloh halalkan bagimu.  Jika kamu nanti menemuinya, maka suruh istrimu sholat dua rokaat  dibelakangmu dan bacalah… (yakni doa di atas)!”  (HR. Abu Bakar ibnu Abi  Syaibah dan Thobaroni, sanadnya shohih).
4. Bermesraan dengan istri sebelum berhubungan, misalnya dengan menyuguhkan minuman atau yang lainnya.
Sebagaimana  dijelaskan dalam hadits Asma’ binti Yazid, ia menceritakan: “(Ketika  malam pertamanya Aisyah) aku meriasnya untuk Rosululloh -shollallohu  alaihi wasallam-, lalu aku panggil beliau agar melihat Aisyah yang sudah  terias, dan beliau pun duduk di sampingnya. Kemudian disuguhkan kepada  beliau gelas besar berisi susu, maka beliau meminumnya (sebagian), lalu  memberikannya kepada Aisyah, tapi ia malah menundukkan kepalanya karena  malu.
Asma: Aku pun menegurnya dan ku katakan padanya:  “Ambillah (gelas itu) dari tangan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-!”.  Maka ia pun mau mengambil dan meminum sebagiannya.
Lalu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mengatakan padanya: “Berikanlah (sisanya) kepada teman wanitamu (yakni Asma’)!”.
Asma:  Aku pun balas mengatakan: “Wahai Rosululloh, ambil saja dulu, lalu  minumlah, setelah itu baru kau berikan padaku!” Maka beliau pun  mengambilnya, meminum, dan selanjutnya memberikannya padaku.
Asma:  Lalu aku duduk, dan ku letakkan gelas itu di atas lututku, kemudian  mulai ku putar gelas itu sambil kutempelkan mulutku padanya, agar aku  bisa mengenai bekas tempat minumnya Nabi -shollallohu alaihi wasallam-.
Kemudian  kepada para wanita yang berada di sekitarku, beliau mengatakan:  “Berikanlah (wahai Asma’) kepada mereka!”. (Karena sungkan) mereka  menjawab: “Kami tidak menyenanginya”.
Maka beliau  mengatakan: “Jangan kalian satukan antara lapar dan bohong!”.  (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dengan dua sanad yang saling menguatkan,  lihat Al-Musnad: 27044 dan 26925)
5. Hendaklah ia berdoa ketika menggaulinya:
بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
Dengan nama Alloh… Ya Alloh jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari anak yang engkau karuniakan pada kami.
Rosul  -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “(Dengan doa itu) apabila Alloh  berkehendak memberikan anak, niscaya setan takkan mampu membahayakan  anaknya selamanya”. (HR. Bukhori:141, dan Muslim:1434)
6. Boleh bagi suami menggauli istrinya di vagina-nya dari arah manapun ia kehendaki, baik  dari depan atau belakang. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya):  “Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian, maka datangilah ladang  kalian itu dari mana saja kalian kehendaki!” (Al-Baqoroh: 223).
7. Haram bagi suami menggauli istrinya di dubur-nya, dan itu termasuk dosa besar, karena sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Terlaknat orang yang menggauli para wanita di dubur-nya (yakni lubang anus)”. (HR. Ibnu Adi, sanadnya hasan).
Syeikh Masyhur mengatakan:  “Adapun orang yang menggauli istrinya di duburnya, maka ia telah  melakukan tindakan yang melanggar syariat, baik asalnya maupun sifatnya,  sehingga ia wajib bertaubat kepada Alloh, dan tidak ada kaffarot (tebusan) baginya kecuali bertaubat kepada Alloh azza wajall“. (Fatawa Syeikh Masyhur, hal. 11, Asy-Syamilah)
8. Berwudhu antara dua sesi berhubungan, dan  lebih afdholnya mandi. Sebagaimana Sabda Rosul -shollallohu alaihi  wasallam-: “Jika salah seorang dari kalian selesai menggauli istrinya,  dan ingin nambah lagi, maka hendaklah ia wudhu, karena itu lebih  menggiatkannya untuk melakukannya lagi”. (HR. Muslim:308, dan Abu  Nuaim).
Mandi lebih afdhol, karena hadits riwayat Abu  Rofi’: “Suatu hari Nabi -shollallohu alaihi wasallam- keliling  mendatangi istri-istrinya, beliau mandi di istrinya yang ini, dan mandi  lagi di istrinya yang ini. Lalu aku menanyakan hal itu ke beliau: “Wahai  Rosululloh, mengapa tidak mandi sekali saja?”. Beliau menjawab: “Karena  (mandi berkali-kali) itu, lebih bersih, lebih baik, dan lebih suci”.  (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, sanadnya hasan)
9. Suami istri dibolehkan mandi bersama di satu tempat, meski saling melihat aurat masing-masing. Ada banyak hadits menerangkan hal ini, diantaranya:
Aisyah  mengatakan: “Aku pernah mandi bersama Rosululloh -shollallohu alaihi  wasallam- dari satu tempat air, tangan kami saling berebut, dan beliau  mendahuluiku, hingga aku mengatakan: “Biarkan itu untukku, biarkan itu  untukku!”, ketika itu kami berdua sedang junub. (HR. Muslim: 321)
10. Usai berhubungan hendaklah wudhu sebelum tidur, dan  lebih afdholnya mandi. Karena hadits riwayat Abdulloh bin Qois, ia  mengatakan: Aku pernah menanyakan ke Aisyah: “Bagaimana Nabi -shollohu  alaihi wasallam- dulu ketika junub, apa mandi sebelum tidur, atau  sebaliknya tidur sebelum mandi?”. Ia menjawab: “Semuanya pernah beliau  lakukan, kadang beliau mandi lalu tidur, dan kadang beliau wudhu lalu  tidur”. Aku menimpali: “Segala puji bagi Alloh yang telah menjadikan  perkara ini mudah”. (HR. Muslim: 307)
11. Jika istri sedang haid, suami tetap boleh melakukan apa saja dengannya, kecuali jima’. Sebagaimana sabda beliau: “Lakukan apa saja (dengan istri kalian) kecuali jima’“. (HR. Muslim: 302)
Kaffarot (tebusan)  bagi orang yang menjima’ istrinya ketika haid, diterangkan dalam hadits  riwayat Ibnu Abbas: Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pernah  ditanya tentang suami yang mendatangi istrinya ketika haid, maka beliau  menjawab: “Hendaklah ia bersedekah dengan satu dinar atau setengah  dinar!”. (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, sanadnya shohih)
Syeikh Masyhur mengatakan:  “Yang dimaksud dengan dinar di hadits itu adalah dinar emas, dan 1dinar  emas itu sama dengan 1mitsqol, sedang 1mitsqol itu sama dengan 4,24  gram emas murni”. (Fatawa Syeikh Masyhur, hal 11, Asy-Syamilah)
12. ‘Azl (mengeluarkan sperma di luar vagina) dibolehkan, meski lebih baik ditinggalkan.
Karena perkataan Jabir r.a.: “Dulu kami (para sahabat) melakukan ‘azl,  di saat Alqur’an masih turun”. (HR. Bukhori:5209, dan Muslim:1440).  Dalam riwayat lain dengan redaksi: “Kami (para sahabat) dulu melakukan ‘azl di  masa Rosul -shollallohu alaihi wasallam- (masih hidup), lalu kabar itu  sampai kepada beliau, tapi beliau tidak melarang kami”. (HR.  Muslim:1440)
Namun, lebih baik meninggalkannya sebagaimana sabda beliau -shollalloh alaihi wasallam-: “Azl itu pembunuhan yang samar”. (HR. Muslim, 1442).
13. Setelah malam pertama menggauli istrinya, disunnahkan pada pagi harinya untuk silaturahim mengunjungi  para kerabatnya yang sebelumnya telah datang ke rumahnya, mengucapkan  salam kepada mereka, mendoakan mereka, dan membalas kebaikan mereka  dengan yang setimpal.
Sebagaimana diterangkan dalam hadits riwayat Anas, ia mengatakan: “Rosululloh  -shollallohu alaihi wasallam- pernah mengadakan walimah saat malam  pertama beliau menggauli Zainab. Beliau mengenyangkan kaum muslimin  dengan roti dan daging, lalu keluar mengunjungi para ibunda mukminin  (isteri-isteri beliau yang lain), untuk mengucapkan salam dan mendoakan  mereka, sebaliknya mereka juga memberikan salam dan mendoakan beliau.  Beliau melakukan hal itu, pada pagi hari setelah malam pertamanya”. (HR. Bukhori: 4794).
14. Keduanya wajib menggunakan kamar mandi yang ada di rumahnya, dan tidak boleh masuk kamar mandi umum, berdasarkan hadits Jabir, Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa beriman pada Alloh dan hari akhir, maka jangan memasukkan istrinya di kamar mandi umum!”. (HR. Tirmidzi: 2801, sanadnya hasan).
Juga  hadits riwayat Ummu Darda’, ia mengatakan: Suatu hari, aku keluar dari  kamar mandi umum, lalu Rosul -shollallohu alaihi wasallam- berpapasan  denganku, beliau bertanya: “Wahai Ummu Darda’, dari mana?”. Ummu Darda’  menjawab: “Dari kamar mandi umum”. Maka beliau mengatakan: “Sungguh,  demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang wanita  menanggalkan pakaiannya di selain rumah salah satu ibunya, melainkan ia  telah merusak tabir yang ada antara dia dan Tuhannya yang maha  penyayang”. (HR. Ahmad, sanadnya shohih).
15. Kedua pasangan diharamkan menyebarkan rahasia kehidupan ranjangnya.
Sebagaimana  sabda beliau: “Sungguh, orang yang paling buruk kedudukannya di sisi  Alloh pada hari kiamat nanti, adalah orang yang membuka (aurat) istrinya  dan istrinya membuka (aurat)nya, lalu ia menyebarkannya”. (HR.  Muslim:1437).
Imam Nawawi mengatakan: “Hadits ini  menunjukkan haramnya menyebarkan cerita hubungan suami istri, dan  merinci apa yang terjadi pada istrinya, seperti ucapan, perbuatan dan  semisalnya.
Adapun sekedar menyebutkan jima’ (secara  global) tanpa ada manfaat dan tujuan, maka hukumnya makruh, karena itu  tidak sesuai dengan muru’ah (akhlak), padahal beliau -shollallohu alaihi  wasallam- telah bersabda: “Barangsiapa beriman pada Alloh dan hari  akhir, maka katakanlah yang baik atau (jika tidak), maka hendaklah ia  diam”.
Tapi jika ia menyebutkan hal itu, karena adanya  tujuan dan manfaat, seperti mengingkari ketidak-sukaannya pada istrinya,  atau istrinya menuduh suaminya impoten, atau semisalnya, maka itu tidak  makruh, sebagaimana ucapan beliau -shollallohu alaihi wasallam-:  “Sungguh aku akan melakukannya, aku dan istriku ini” (HR. Muslim: 350),  begitu pula pertanyaan beliau kepada Abu Tholhah: “Apa malam tadi,  kalian telah menjalani malam pertama?” (HR. Bukhori:5470, dan  Muslim:2144), dan pesan beliau kepada Jabir: “Semangat dan semangatlah”  (HR. Bukhori:2097, dan Muslim:715), wallohu a’lam. (lihat Syarah Shohih  Muslm: 1437).
16. Mengadakan walimah (resepsi) wajib hukumnya setelah menjima’ istri, dengan  dasar hadits Buraidah bin Hushoib, bahwa ketika Ali menikahi Fatimah,  beliau mengatakan: “Pernikahan itu harus ada walimahnya”. (HR.  Ahmad:22526, sanadnya la ba’sa bih). Juga sabda beliau kepada  Abdur Rohman bin Auf: “Adakanlah walimah, walau hanya dengan  (menyembelih) seekor kambing!”. (HR. Bukhori:2048, dan Muslim:1427).
17. Beberapa sunnah (tuntunan) dalam walimah, diantaranya:
- Hendaknya diadakan selama tiga hari, setelah menjima’ istri. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Anas, ia mengatakan: “Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dulu menikahi shofiyah, beliau menjadikan anugerah kemerdekaannya sebagai maharnya, dan menjadikan walimah berlangsung tiga hari”. (HR. Abu Ya’la, sanadnya hasan)
- Hendaknya mengundang para sholihin, baik yang kaya maupun yang miskin. Sebagaimana sabda beliau: “Janganlah berteman kecuali dengan orang mukmin, dan janganlah menyantap makananmu kecuali orang yang bertakwa!”. (HR. Abu Dawud: 4832, Tirmidzi:2395, dan yang lainnya, sanadnya hasan)
- Hendaklah menyembelih lebih dari satu kambing jika mampu. Sebagaimana sabda beliau: “Adakanlah walimah, walau hanya dengan (menyembelih) seekor kambing!”. (HR. Bukhori:2048, dan Muslim:1427).
- Dianjurkan dalam pengadaan walimah, agar dibantu orang kaya dan lebih harta.
Sebagaimana  dijelaskan dalam hadits riwayat Anas, yang menceritakan kisah  menikahnya Rosul -shollallohu alaihi wasallam- dengan Shofiyah, Anas  berkata: “…Hingga ketika beliau di tengah perjalanan pulang, Ummu Sulaim  mempersiapkan Shofiyah dan menyerahkannya kepada beliau pada malamnya,  hingga paginya beliau berstatus arus (pengantin baru). Lalu  beliau mengatakan: “Barangsiapa punya sesuatu, maka hendaklah ia bawa  kemari!” (dalam riwayat lain redaksinya: “Barangsiapa punya makanan  lebih, maka hendaklah dia mendatangkannya kepada kami”… Anas berkata:  “Beliau pun menggelar karpet kulitnya, maka mulailah ada orang yang  datang dengan keju, ada yang datang dengan kurma, ada juga yang datang  dengan lemak, hingga bisa mereka jadikan hais. Kemudian mereka  memakannya dan meminum air dari tadahan hujan yang ada di dekat mereka.  Begitulah pelaksanaan walimahnya Rosululloh -shollallohu alaihi  wasallam-. (HR. Ahmad:11581, Bukhori:371, dan Muslim:1365)
- Tidak boleh hanya mengundang yang kaya, dan tidak menyertakan yang miskin.
Sebagaimana sabda beliau: “Seburuk-buruk makanan adalah hidanganwalimah yang  hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya, sedang orang-orang miskin  dilarang untuk mendatanginya” (HR. Bukhori:5177, dan Muslim:1432).
- Wajib bagi yang diundang untuk menghadirinya.
Sebagaimana  sabda beliau: “Jika salah seorang dari kalian diundang walimah, maka  hendaklah ia menghadirinya!”. (HR. Bukhori:5173, dan Muslim:1429). Juga  sabdanya: “Jika salah seorang dari kalian diundang, maka hendaklah ia  mengharinya, baik itu acara walimah atau pun acara lainnya!”. (HR.  Muslim:1429). Juga sabdanya: “Barangsiapa tidak menghadiri udangan,  berarti ia telah bermaksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya”. (HR.  Bukhori:5177, dan Muslim:1432).
- Jika yang diundang tidak puasa, maka hendaklah ia memakan hidangan yang ada. Sedang jika ia puasa, maka hendaklah ia tetap hadir dan mendoakan yang mengundangnya.
Sebagaimana sabda beliau:  “Jika yang diundang itu tidak puasa, maka makanlah (hidangan yang ada)!  Sedang jika ia puasa, maka berdoalah untuknya!” (HR. Abu Dawud:3736,  sanadnya shohih).
- Jika yang diundang sedang puasa sunat, ia boleh membatalkan puasanya untuk makan hidangan walimah, sebagaimana diceritakan oleh Abu Sa’id Al-Khudri: Aku pernah membuatkan hidangan untuk Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, lalu beliau dan para sahabatnya mendatangi undanganku. Ketika hidangan disajikan, ada salah seorang berseloroh: “Aku sedang berpuasa”. Maka Rosul -shollallohu alaihi wasallam- mengatakan: “Saudara kalian ini telah mengundang dan mengeluarkan biaya untuk kalian”, lalu beliau mengatakan padanya: “Batalkanlah puasamu, dan qodho’lah di hari lain jika kau menghendakinya!”. (HR. Al-Baihaqi di Sunan Kubro: 8622, sanadnya hasan).
- Tidak boleh menghadiri undangan walimah, jika ada maksiatnya, kecuali bila bermaksud mengingkarinya dan berusaha menghilangkan kemaksiatan itu. Jika maksiatnya bisa hilang, (alhamdulillah), tapi bila tidak, ia harus pulang meninggalkannya.
Sebagaimana  kisah sahabat Ali berikut: Aku pernah membuat makanan, lalu ku undang  Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, beliau pun datang. Tapi ketika  melihat ada gambar-gambar di rumah, beliau langsung kembali. Aku  bertanya: “Wahai Rosululloh, -bapak dan ibuku kurelakan untuk menebusmu-  apa yang membuatmu pulang lagi?”. Beliau menjawab: “Karena di rumah  itu, ada banyak gambar, padahal para malaikat tidak sudi masuk rumah  yang ada gambar-gambarnya!”. (HR. Ibnu Majah dan Abu Ya’la, sanadnya  shohih).
18. Untuk yang diundang disunatkan melakukan dua hal:
- Mendoakan orang yang mengadakan walimah, setelah selesai. Sebagaimana diceritakan oleh Abdulloh bin Busr, bahwa bapaknya pernah membuatkan makanan untuk Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dan mengundangnya, maka beliau pun datang. Selesai makan, beliau mendoakan:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مَا رَزَقْتَهُمْ وَاغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ
Ya Alloh, berkahilah rizki yang kau berikan pada mereka, serta ampuni dan rahmatilah mereka. (HR. Ibnu Abi syaibah, Muslim, dan yang lainnya).
- Mendoakan kedua mempelai dengan kebaikan dan keberkahan. Ada banyak hadits menerangkan hal ini, diantaranya:
 - Doa beliau kepada jabir: “بَارَكَ اللهُ لَكَ” (semoga Alloh memberkahimu),atau mengatakan kepadanya “خَيْرًا” (semoga engkau diberi limpahan kebaikan). (HR. Bukhori:5367, dan Muslim:715).
- Doa beliau kepada Ali: “اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِمَا, وَبَارِكْ لَهُمَا فِيْ بِنَائِهِمَا” (Ya Alloh, berkahilah keduanya, dan berkahilah hubungan keduanya). (HR. Ibnu Sa’d dan Thobaroni di Mu’jam Kabir, sanadnya hasan).
- Doa kaum wanita Anshor kepada Aisyah: “عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ, وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ” (selamat atas kebaikan, keberkahan, dan keberuntungan yang besar). (HR. Bukhori:3894, dan Muslim:1422)
- Dari Abu Huroiroh: bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- jika mendoakan orang yang menikah mengatakan: “بَارَكَ اللهُ لَكَ, وَبَارَكَ عَلَيْكَ, وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ” (semoga Alloh memberikan keberkahan padamu, menurunkannya atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan). (HR. Abu Dawud:2130, Tirmidzi:1091 dan yang lainnya, sanadnya shohih sesuai kriteria Imam Muslim)
 
 
19. Boleh bagi pengantin wanita melayani tamu laki-laki, jika tidak menimbulkan fitnah dan mengenakan hijab syar’i.
Sebagaimana  hadits Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: Ketika Abu Usaid telah mengumpuli  istrinya, ia mengundang Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dan para  sahabatnya, maka tidak ada yang membuat dan menyodorkan hidangan,  melainkan istrinya, Ummu Usaid… Pada hari itu, istrinya -yang pengantin  baru itulah- yang melayani tamu laki-laki. (HR. Bukhori:5176, dan  Muslim:2006).
20. Boleh juga mengijinkan para wanita untuk mengumumkan pernikahan dengan menabuh duff (rebana) saja, dan melantunkan nyanyian yang dibolehkan (asal baitnya tidak bercerita kecantikan dan kata-kata kotor).
Rubayyi’ binti Mu’awwidz mengatakan: Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pernah  menemuiku di pagi hari malam pertamaku, lalu beliau duduk di atas  ranjangku seperti posisimu denganku (sekarang ini), di saat itu ada  banyak anak kecil wanita menabuh duff, mengenang bapak-bapak  mereka yang gugur di perang badr, hingga salah seorang anak wanita itu  ada yang mengatakan: “Di sisi kita ada Nabi yang tahu hari esok”. Maka  Nabi -shollallohu alaihi wasallam-menegurnya: “Jangan berkata seperti itu, tapi katakanlah apa yang kau ucapkan sebelumnya”. (HR. Bukhori:4001)
21. Hendaklah berusaha meninggalkan hal yang dilarang syariat, terutama ketika acara pernikahan, misalnya:
- Memajang gambar yang bernyawa di dinding.
Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Sungguh, rumah yang ada gambarnya tidak dimasuki para malaikat “. (HR. Bukhori: 2105, dan Muslim: 2107)
Aisyah mengatakan: Rosul -shollallohu alaihi wasallam- pernah  masuk menemuiku, saat itu aku menutupi lemari kecil dengan kain tipis  yang bergambar, [dalam riwayat lain redaksinya: "yang bergambar kuda  bersayap"]. Melihat itu, beliau langsung merobeknya, dan berubah raut  wajahnya. Beliau mengatakan: “Sesungguhnya orang yang paling pedih  adzabnya di hari kiamat adalah, mereka yang menyaingi ciptaan Alloh”  Aisyah mengatakan: Akhirnya kain itu ku potong dan kujadikan satu atau  dua bantal. (HR. Bukhori: 5954, dan Muslim: 2107).
Untuk mengetahui lebih banyak hadits tentang larangan melukis obyek bernyawa, silahkan merujuk ke artikel kami di link berikut: http://addariny.wordpress.com/2009/06/30/651/
- Syeikh Albani berpendapat haramnya menutup dinding rumah dengan kain, meski bukan dengan sutra, karena itu termasuk isrof dan hiasan yang tidak sesuai syariat. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَأْمُرْنَا أَنْ نَكْسُوَ الْحِجَارَةَ وَالطِّينَ
Sesungguhnya Alloh tidak menyuruh kita untuk menutupi batu dan tanah. (HR. Muslim: 2106)
Imam  Nawawi mengatakan: “Para ulama memakai hadits itu sebagai dalil  larangan menutup dinding dan lantai dengan kain, larangan itu adalahkarohah tanzih,  bukan larangan yang mengharamkan, dan inilah pendapat yang benar.  Sedang Syeikh Abul Fath Nashr Al-Maqdisi dari sahabat kami (madzhab  syafi’i) berpendapat haramnya hal itu. Tapi, dalam hadits ini tidak ada  yang menunjukkan keharamannya, karena hakekat lafalnya: “Alloh tidak  menyuruh kita melakukan itu”, ini berarti bahwa hal itu tidak wajib dan  tidak sunat, dan tidak menunjukkan pengharaman sesuatu, wallohu a’lam.  (Syarah Shohih Muslim, hadits no: 2106)
- Mencabut alis dan lainnya, karena Rosul -shollallohu alaihi wasallam- telah melaknat orang yang berbuat demikian. (HR. Bukhori: 4886, dan Muslim: 2125)
- Mewarnai kuku dengan cat (sehingga menutupi jalannya air wudhu). Adapun sunnahnya adalah mewarnainya dengan hinna’.
- Memanjangkan kuku, karena itu bertentangan dengan fitrah. Rosul bersabda: “Lima hal termasuk fitrah: “Khitan, mengerik bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak” (HR. Bukhori: 5889, dan Muslim: 257).
Rosululloh juga melarang kita membiarkannya lebih dari 40 malam, sebagaimana perkataan Anas bin Malik:
وُقِّتَ  لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَنَتْفِ الْإِبِطِ  وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Kami  diberi batasan waktu untuk: Mencukur kumis, memotong kuku, mencabuti  ketiak, dan mengerik bulu sekitar kemaluan, (yakni) agar kami tak  membiarkannya lebih dari 40 malam. (HR. Muslim: 258)
- Mencukur jenggot, karena memelihara jenggot itu wajib hukumnya, sebagaimana sabda beliau: Cukur-tipislah kumis dan panjangkanlah jenggot, selisilah kaum majusi!. (HR. Muslim: 260)
- Mempelai pria mengenakan cincin tunangan dari emas. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ
Pakaian sutra dan emas diharamkan untuk umatku yang laki-laki, dan dihalalkan untuk mereka yang wanita. (HR. Tirmidzi: 1720, dishohihkan oleh Albani)
22. Wajib hukumnya memperlakukan istri dengan baik, dan menuntunnya kepada hal-hal yang halal, khususnya bila istrinya masih muda.
Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-  bersabda: “Sebaik-baik kalian, adalah yang paling baik terhadap  istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik diantara kalian terhadap  istriku” (HR. Tirmidzi: 3895, dishohihkan Albani)
Beliau  juga bersabda: “Berilah nasehat baik pada wanita (istri), karena mereka  itu tawananmu”. (HR. Tirmidzi: 1163, Ibnu Majah: 1851, dan yang lainnya.  Dihasankan oleh Albani)
Beliau juga bersabda: “Janganlah  lelaki mukmin membenci wanita mukminah (istrinya), karena jika dia benci  salah satu tabiatnya, pasti ada hal lain yang ia suka” (HR. Muslim:  1469).
Aisyah mengisahkan: Suatu hari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-  pulang dari perang tabuk atau perang khoibar. (Saat itu) lemari kecil  Aisyah tertutup tirai, lalu berhembuslah angin, yang menyingkap tirai  itu, sehingga terlihatlah banyak mainan boneka wanita milik Aisyah.  Beliau bertanya: “Apa ini, wahai Aisyah?”, ia menjawab: “Anak-anak  perempuanku”. Diantara mainannya itu beliau juga melihat ada boneka kuda  bersayap dua yang terbuat dari kain, lalu mengatakan: “Kalau yang di  tengah ini apa?”, ia menjawab: “itu kuda”, beliau menimpali: “terus apa  yang diatasnya?”, ia menjawab: “dua sayapnya”, beliau mengatakan: “kuda  mempunyai dua sayap?”, ia menjawab: “bukankah engkau pernah mendengar  bahwa Nabi Sulaiman memiliki kuda bersayap?!”. (Mendengar itu) beliau  langsung tersenyum hingga kulihat gigi-gigi gerahamnya. (HR. Abu Dawud:  4932 dan yang lainnya, sanadnya hasan).
23. Sebaiknya suami membantu pekerjaan rumah istrinya, bila ada waktu senggang dan tidak sedang lelah. Sebagaimana disebutkan Aisyah: “Dahulu beliau -shollallohu alaihi wasallam-  biasa membantu istrinya, dan beliau pergi untuk sholat bila tiba  waktunya”. (HR. Bukhori: 676). Aisyah juga mengatakan: “Beliau itu  manusia seperti yang lainnya, mencuci pakaiannya, memerah kambingnya,  dan membantu istrinya”. (HR. Ahmad: 25662, sanadnya kuat)
24. Pesan-pesan untuk kedua mempelai:
- Hendaklah keduanya ta’at kepada Alloh dan saling mengingatkan untuk itu. Hendaklah keduanya menjalankan syariat-Nya yang tetap dalam Qur’an dan Sunnah, dan tidak meninggalkannya hanya karena taklid, atau adat masyarakat, atau madzhab tertentu, Alloh berfirman:
وَمَا  كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ  أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ  اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan  tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminah, apabila Alloh dan Rosul-Nya  telah menetapkan suatu hukum dalam urusan mereka, untuk memilih (pilihan  lainnya), karena barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, sungguh  ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. (Al-Ahzab: 36).
- Hendaklah keduanya menjaga hak dan kewajiban masing-masing. Maka janganlah istri menuntut suaminya hak yang sama dalam segala hal! Sebaliknya, janganlah suami memanfaatkan harta dan posisinya sebagai kepala rumah tangga, untuk mendholimi istrinya, seperti memukulnya tanpa ada sebab syar’i. Alloh azza wajall berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Para  istri itu memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara  yang patut, dan para suami itu memiliki kelebihan di atas mereka. Dan  Alloh adalah maha perkasa lagi maha bijaksana. (Al-Baqoroh: 228)
Mu’awiyah  bin Haidah bertanya: “Wahai Rosululloh, apa hak istri atas suaminya?”  Beliau menjawab: “Yaitu, memberinya makan dan sandang jika memintanya,  tidak mengatakan ‘Qobbahakilloh’ (semoga Alloh menjadikanmu  buruk), tidak memukul wajahnya, [tidak mendiamkannya kecuali di dalam  rumahnya]“. (HR. Abu Dawud: 2142,  dan Ahmad: 19541).
Rosul  juga bersabda: “Orang yang adil akan menduduki singgasana dari cahaya  diatas tangan kanan Alloh yang maha penyayang, dan kedua tangan-Nya itu  kanan, yaitu mereka yang adil dalam mengatur kekuasaannya, keluarganya,  dan tanggung jawab yang serahkan padanya. (HR. Muslim: 1827).
Bila  keduanya tahu hal ini dan menerapkannya dengan baik, niscaya Alloh akan  menjadikan hidup keduanya baik, tentram, bahagia. Alloh berfirman:
مَنْ  عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ  فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ  بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa  melakukan kebajikan dalam keimanan, baik laki-laki maupun perempuan,  pasti Kami berikan padanya kehidupan yang baik, dan Kami pasti membalas  mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka  kerjakan. (An-Nahl: 97)
25. Sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam- khusus untuk sang istri:
إذا صلت المرأة خمسها وحصنت فرجها وأطاعت بعلها دخلت من أي أبواب الجنة شاءت
Bila  perempuan mendirikan sholatnya, menjaga kehormatannya, dan mentaati  suaminya, ia pasti masuk surga dari pintu manapun ia kehendaki.(HR. Thobaroni, sanadnya hasan)
عَنْ  أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ  وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا  بِمَا يَكْرَهُ
Abu Hurairoh mengatakan:  Rosululloh pernah ditanya: “Siapa wanita yang paling baik?”, beliau  menjawab: “Yaitu wanita yang menyenangkan bila suaminya memandangnya,  mentaati bila diperintah, dan ia tidak menyelisihi suaminya karena  sesuatu yang dibencinya, baik dengan diri maupun hartanya” (HR. Nasa’i: 3231 dan yang lainnya, dishohihkan oleh Albani)
قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
Rosul  -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Seluruh dunia ini adalah  perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang sholihah”. (HR. Muslim:  1467)
عَنِ  الْحُصَيْنِ بْنِ مِحْصَنٍ، أَنَّ عَمَّةً لَهُ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ، فَفَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا،  فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَذَاتُ  زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا  آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ  مِنْهُ فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
Dari  Hushoin bin Mihshon: bahwa bibinya pernah menemui Rosululloh   shollallohu alaihi wasallam- karena suatu keperluan, setelah selesai  beliau bertanya: “Apa anda bersuami?”. “Ya”, jawabku. “Bagaimana sikapmu  terhadapnya?” tanya beliau. “Aku bersungguh-sungguh di dalam (menaati  dan melayani)-nya, kecuali pada hal yang tidak ku mampui”, jawabku. Maka  beliau mengatakan: “Lihatlah bagaimana hubunganmu dengannya! karena  suamimu itu surga dan nerakamu”. (HR. Ahmad: 18524 dan yang lainnya, sanadnya shohih)
قَالَ  رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُمْ  الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنْ فِي  بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Janganlah  istri berpuasa selain Romadhon saat suaminya bersamanya, kecuali dengan  izinnya. Dan janganlah istri mengijinkan orang lain masuk rumah saat  suaminya bersamanya, kecuali dengan izinnya. (HR. Muslim: 1026)
إذا  دعا الرجل امرأته إلى فراشه فلم تأته فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة  حتى تصبح [وفي رواية : حتى ترجع] [وفي أخرى: حتى يرضى عنها]ـ
Jika suami mengajak istrinya ke ranjang, tapi ia tidak menurutinya hingga suaminya marah, maka para malaikat melaknatnya “hingga pagi tiba“ (HR. Bukhori: 3237, dan Muslim: 1436)… [dalam riwayat lain: "hingga ia kembali (menurutinya)"] (HR. Bukhori: 5194, dan Muslim: 1436)… [dalam riwayat lain: "hingga si suami merelakannya"] (HR. Muslim: 1736).
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
Seandainya  aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku  sudah menyuruh istri untuk sujud kepada suaminya. (HR. Abu Dawud: 2140, Tirmidzi: 1159, Ibnu Majah: 1853, Ahmad: 18913, dan yang lainnya, dishohihkan Albani)
وَلَا  تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ  حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهُ، حَتَّى لَوْ  سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
Dan  seorang istri tidak akan memenuhi hak Alloh atasnya dengan sempurna,  hingga ia memenuhi hak suaminya dengan sempurna, hingga seandainya si  suami meminta dirinya saat di pelana, maka ia tidak menolak ajakannya.(HR. Ahmad: 18913, dan yang lainnya, dishohihkan Albani)
لا تؤذي امرأة زوجها في الدنيا إلا قالت زوجته من الحور العين: لا تؤذيه قاتلك الله فإنما هو عندك دخيل يوشك أن يفارقك إلينا
Tidaklah  seorang istri menyakiti suaminya ketika di dunia, kecuali istrinya dari  kalangan bidadari mengatakan padanya: “Janganlah engkau menyakitinya,  qootalakillah, karena suamimu itu sebenarnya tamu, yang sebentar lagi  meninggalkanmu untuk menemui kami”. (HR. Ahmad: 21596, Tirmidzi: 1174, dan Ibnu Majah: 2014, dishohihkan Albani)
Alhamdulillah… selesai sudah ringkasan ini… semoga bermanfaat bagi para pembaca… dan kurang lebihnya kami mohon maaf… wassalam…
Oleh: Addariny, di Madinah, 8 Romadhon 1430 / 29 Agustus 2009.






 
 




 



 
 
 
 
 



 


 

 






 
0 komentar:
Posting Komentar